Setelah lebih kurang 4 tahun pernikahan kami, juga tempat tinggal yang sewa dari satu rumah ke rumah lainnya, kami putuskan juga untuk mengambil rumah dengan cara mencicil.
Semula, ada keinginan untuk menabung dulu hingga akhirnya bisa membeli tanah dan mendirikan rumah. Ternyata, langkah demikian bukanlah hal yang mudah. Nilai mata uang kalau ditabungkan di bank akan selalu berkurang. Sebab dari tahun ke tahun inflasi yang menurunkan nilainya selalu ada. Juga, ketika mencoba untuk menabungkannya dalam bentuk tanah atau investasi lainnya yang nilainya akan bertambah, ternyata harga sewa rumah pun ikut munggah.
Capek juga memindahkan semua isi rumah ketika kontrakan habis masa waktunya. Juga, tak mudah untuk menemukan harga rumah yang ditawarkan pengembang yang cukup murah. Akhirnya, dapat informasi dari teman-teman kalau akan dibangun perumahan yang dikhususkan untuk guru-guru sekolah Fajar Hidayah. Lokasinya di desa Ciangsana. Karena yang membangun perumahan ini merupakan suami dari teman lama, maka akhirnya kami putuskan untuk ikut membelinya.
Sampai dengan bulan Maret 2009, kami mencicil uang muka hingga memenuhi nilai 20 juta rupiah. Setelahnya, kami akan mencoba (secara kolektif dengan teman-teman juga) akan mengajukan pinjaman uang untuk melunasi rumah. Impian setelah memiliki anak dan berusaha membahagiakan keluarga, yakni memiliki rumah, meski pun sangat sederhana.
Mohon doanya saudara-saudara, semoga kami mampu mencicilnya.
Akhirnya Kredit Rumah
Teringat tentang desaku
Masa kecilku ada di Air Langkap, Kaur Tengah, Bengkulu. Masa kecil itu begitu indah dalam ingatanku. Tinggal di sebuah desa nun jauh dari kota, sekitar 200 km dari Kota Bengkulu. Aku lahir di sana, tahun baru penghujung dekade '70-an. Jalan raya desaku menuju arah Lampung (saat ini sudah ada jalan tembus kesana) di sebelah selatan Sumatera. Di sebelah baratnya adalah Lautan yang berjarak sekitar 1 km dari pemukiman. Namun ada juga sebagian desa-desa tetangga yang betul-betul dekat dengan bibir pantai. Di sebelah timur desaku, ada sebuah sungai yang kami sebuah aya' besak (air besar atau sungai). Letak sungai pun hanya beberapa meter di belakang rumah penduduk. Di sana aku dan kawan-kawan, juga penduduk, saat itu mandi. Air sungai masih bersih, tak ada polusi berbahaya seperti di sungai-sungai perkotaan atau daerah dekat lokasi pertambangan.
Setelah sungai, ada kebun-kebun. Kebun-kebun itu kami sebut Talang. Saat masa kecilku, desaku adalah desa kaya. Penghasilan utama penduduk bersumber dari kebun cengkeh, sawah yang terletak antara pemukiman dan laut, serta kekayaan laut yang begitu melimpah. Aku ingat betul masa 1980-an adalah masa ketika aku bisa merasakan kejayaan penduduk desaku. Secara ekonomi, desa kami adalah desa kaya. Setiap selesai panen cengkeh, selalu ada yang berangkat menunuai ibadah haji. Selalu ada yang menabung dalam bentuk perhiasan di rumah-rumah mereka atau ibu-ibu dan gadis-gadis dusun kenakan. Halaman-halaman rumah penduduk dipenuhi dengan hamparan cengkeh yang sedang dijemur hingga kering. Hamparan jemuran di halaman itu silih berganti dari cengkeh ke padi dan ke cengkeh lagi, begitu terus menerus.
Jika ingin makan ikan, kami di desa tinggal memanggul pancing ke laut atau membawa jala dan jaring untuk mendapatkan ikan. Nelayan desa tetangga juga sering menjajakan ikan pada sore hari dengan mengendarai sepeda kumbang berkeliling desa pada sore hari. Kami bisa juga memperoleh ikan dengan memancing di sungai, atau beberapa rawa bekas sawah yang telah lama ditinggalkan.
Seingatku, saat pertengah tahun 80'an, jika dari kota Bengkulu menuju Kaur membutuhkan waktu seharian. Dengan menumpang bis Damri milik Departeman Perhubungan, jika berangkat sekitar pukul tujuh pagi, maka kami akan tiba di Kaur pada sekitar pukul 18 atau bahkan lebih. Perjalanan selama itu biasanya memerlukan waktu istirahat untuk makan siang atau sekedar membasuh muka atau shalat di sekitar jembatan panjang Padang Guci dan di pinggir sungai Alas (sekarang kabupaten Seluma). Saat itu, jalan raya tidaklah semulus sekarang. Belum ada aspal untuk melapisi batu-batu terjal. Selalu saja ada yang mabuk kendaraan, muntah-muntah hebat, tak terkecuali aku. Rasanya menderita sekali kalau sudah mabuk perjalanan darat ini. Pertengahan 1980-an itu aku dan saudara-saudaraku diajak oleh Bapak dan Mak pindah domisili ke pinggiran kota Bengkulu.
Desaku yang dulu kaya, ternyata tidak selamanya menjadi kaya. Itulah makanya Bak berpikir untuk pindah domisili mendekati kota, sebab pendidikan akan lebih mudah dijangkau ketimbang di desa. Dan agaknya Bak berpikir pendidikan adalah investasi yang jauh lebih berharga dari simpanan hasil panen cengkeh dan padi di lumbung. Nyatanya benar saja. Pada awal 1990-an, Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dikuasai oleh putera Soeharto menyebabkan harga cengkeh terjun payung ke nilai paling murah. Kalau tidak salah ingat, saat itu penguasaan tunggal BPPC atas pemasaran cengkeh rakyat menyebabkan harga dengan mudah dipermainkan. Lalu, melimpahnya cengkeh telah menyebabkan daya tampung cengkeh oleh--utamanya pabrik rokok--juga sudah berlebih. Keduanya memukul telak petani di desa kami, juga petani-petani di seluruh nusantara ini.
Sawah desaku adalah desa tadah hujan. Hanya mampu bertumpu pada hujan. Sawah-sawah ini pun tak mampu menolak revolusi hijau yang dipaksakan Pemerintah yang telah terlanjur menerima bantuan pembangunan dari World Bank. Penggunaan pupuk kimia, penggunaan mesin-mesin dan juga irigasi--seingatku tidak ada irigasi di sawah-sawah kami--diterapkan. Belasan tahun kemudian aku mengetahui bahwa pupuk dan pembasmi hama dari bahan-bahan kimia itu telah merusak ekosistem alam, juga membahayakan tubuh manusia dalam waktu lama. Sekarang, tanah sawah mengalami ketergantungan pada bahan-baha kimia itu. Namun kebijakan pertanian saat ini sudah tidak berpihak pada petani, besar modal menanam padi dengan ongkos yang harus dikeluarkan jauh dari menguntungkan.
Tahun demi tahun, berangsur-angsur kian menunjukkan ekonomi desa kami tak lagi sekaya dulu. Sejak pertengahan tahun 1990-an, pemuda desa kami mulai bermigrasi ke kota-kota besar terutama Jakarta. Dengan ijazah sekolah lanjutan pertama atau sedikit yang berijazah sekolah lanjutan atas, mereka hanya mampu menjadi buruh di pabrik-pabrik, penjaga toko, atau bahkan menjadi pedagang kaki lima. Pendidikan sekolah telah menjauhkan anak-anak dari pertanian, membuai tentang kehidupan yang lebih baik dengan tidak menjadi petani. Membuaikan anak-anak desa bahwa kehidupan di kota adalah lebih baik, lebih bergengsi, dan lebih menjanjikan. Generasi 1990-an adalah awal mula pertanian mulai mengalami krisis generasi penerus pertanian.
Sekarang, televisi sudah memasuki ruang-ruang keluarga masyarakat desa. Mengendorkan jalinan-jalinan sosial yang bahkan dalam bentuk ngobrol sore hari sekalipun. Yang ada adalah waktu senggan di depan televisi. Acara-acar televisi itu sendiri telah pula merusakkan cara berpikir orang desa, bekerja keras dan berproses dirubah dengan pola pikir instan dan melupakan perjuangan dalam meraih impian.
Awal tahun 2000 telah banyak pemuda-pemuda dari desa kami kembali dari perantauannya di kota-kota. Setelah gagal meraih "sukses" mereka pun memutuskan untuk kembali ke desa. Aku senang mengetahuinya. Kakakku pun telah pula kembali kesana. Harapanku, semoga mereka mulai berpikir membangun desa dengan lebih baik lagi. Pengalaman di kota mungkin menyebabkan mereka terpacu untuk bekerja lebih giat di desa. Memang ada dampak negatif dari pola pikir selama tinggal di kota, tapi biarlah kita berpikir positif untuk mereka yang telah pulang ke desa.
Aku berharap, desaku akan kembali hidup damai dan tenteram seperti masa-masa dulu. Tidak terpengaruh oleh hiruk pikuk masalah yang dipacu oleh keinginan berpacu dengan percepatan-percepatan. Tidak lagi bergegas untuk sesuatu hal yang tak tahu apa yang ingin dicapai, tempat mana yang akan dituju, dan mau kemana hidup ini akan diarahkan. Ah, sebetulnya aku pun belakangan ini sedang berpikir untuk kembali ke desa. Tunggu aku ya...
Ga bisa fokus
Aku mengalami kesulitan teramat besar saat ini. Ia adalah fokus. Susah sekali untuk fokus. Entah mengapa akhir-akhir ini aku kesulitan memusatkan pekerjaan satu demi satu lalu menuntaskan semuanya.
Di kantor, aku memiliki beberapa agenda pekerjaan yang harus kuselesaikan: membuat laporan keuangan lokakarya minggu lalu, memperbaiki surat penunjukkan narasumber karena ada satu nama yang tidak jadi hadir dan digantikan oleh orang lain, belajar bahasa Inggris, dan masih ada beberapa agenda lainnya. Sungguh, aku bingung mana yang harus kuselesaikan. Di kepala aku akan mendahulukan pekerjaan ini, lalu ini, ini, dan satu ini. Nyatanya, setelah di depan komputer aku bingung.
Sedari pagi aku sudah mengecek imel yang masuk. Setelah itu membaca-baca berita di internet. Lalu sekarang aku masih bingung mau ngapain sehingga terdampar di blog ini dan menngisi posting pribadi macam ini. Ah... aku pernah melihat temanku, mbak Tati yang kebingungan seperti ini. Ia pun berkata setengah berteriak: somebody please send me an e-mail, send anything so I can read a message from my account. Lucu juga, ada orang bingung ga tahu mau ngapain dan berharap ia bisa menerima sebuah pesan melalui imel sehingga ia pun punya aktifitas: membaca sebuah surat elektronik. :)
Mudah-mudahan ini tidak berlangsug lama. Bisa berabe kena penyakit kebingungan seperti ini.
Saya masih bermimpi
Sampai saat ini, saya masih memiliki mimpi seperti teman-teman yang lain, yakni melanjutkan sekolah ke luar negeri. Ada beberapa teman dekat yang sudah pergi melanjutkan studi di negeri orang, dan rasanya ingin sekali menyusulnya. Pendidikan di luar negeri memang bukanlah penentu kemuliaan seorang manusia. Tetapi dengan ke luar negeri, saya berharap bisa berinteraksi dengan beragam manusia, mendapatkan suasana yang berbeda, serta bisa mengukur kemampuan keilmuan yang saya miliki jika dibandingkan dengan orang lain dari negera lain pula.
Saya mecoba, berusaha, antara lain dengan kembali belajar bahasa Inggris supaya bisa memenuhi batas minimal IELTS atau TOEFL yang menjadi persyaratan untuk mendapatkan beasiswa. Juga, sedapat mungkin menguasai pengetahuan dalam bidang pekerjaan serta pengetahuan yang ingin saya dalami jika bersekolah lagi nanti.
Belajar untuk mempersiapkan diri untuk melamar beasiswa bukanlah hal mudah bagi saya. Berangkat ke tempat kerja pagi hari setelah menemani anak bermain atau menonton film animasi dari beberapa CD, lalu sibuk di tempat kerja, dan tiba kembali di rumah sudah malam hari, kondisi cape, semuanya membuat nyaris seperti tak ada waktu untuk belajar. Di rumah harus bangun pagi, dan tentunya harus tidur malam lebih cepat, tentulah tidak sama saat dulu masih kuliah sarjana. Tenaga tersisa hanya sedikit, serta setelah bangun pagi untuk beraktiftas lagi yang menjadi rutinitas yang nyaris tidak boleh disela untuk belajar. Kadang muncul rasa putus asa. Tapi beginilah kondisi yang saya hadapi setelah berumah tangga. Sungguh, saya tidak ingin menyalahkan putusan saya untuk berumah tangga sebelum meraih impian bersekolah lagi ini.
Akhir-akhir ini saya biasa mengunduh file-file pelajaran bahasa Inggris dari BBC Siaran Indonesia. Lumayan untuk saya belajar sambil menyelesaikan pekerjaan di kantor. Tapi, tentu saja ia hanyalah pelajaran bahasa Inggris sehari-hari, tidak spesifik untuk menaikan nilai TOEFL atau IELTS. Saya masih harus mengalokasikan waktu untuk belajar dua hal itu.
Sang Pemimpi, buku kedua Tetralogi Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata, seperti mengingatkan saya untuk terus bermimpi dan berusaha untuk mewujudkan mimpi itu menjadi kenyataan. Saya masih berusaha untuk mengejar mimpi saya. Semoga saja bisa.
Utak-atik template
Sebenarnya, saya sedang belajar bagaimana caranya utak-atik template blogger. Saya perhatikan ada banyak blog dengan template unik dan pemilik blognya bikin sendiri. Rasanya saya ingin bisa membuat template sendiri seperti mereka, jadi bisa mendesain sesuai selera.
Mudah-mudahan blog saya yang satu ini bisa menjadi tempat belajar mengutak-atik template sehingga saya bisa menciptakan template yang cocok untuk saya. Sementara pinjam template orang lain dulu ya...